Rabu, 21 Januari 2015

"Mencintaimu, bukan persoalan koko atau kaos, bukan soal jins atau sanwos. Tapi soal aqidahmu yang menyentuh jiwaku"

Ncue tarra
DI AKHIR MUSIM PENGHUJAN

                                Ncue tarra

Kak, ada pelangi di hatiku
Setiap kali jarak mempertemukan kita
Tepat 2 meter
Kaulah sumber mejiku itu
Yang berdetak meronakan wajahku
Kau adalah hujan yang berikanku pelangi
Selepas musim penghujan Desember reda


Banda Aceh
Aku menangkap surga di tatapanmu
Ditawadhuknya dirimu
Wahai cinta yang di cinta
Harap mengalun tertuju untukmu
Dari sekeping hati


“Jika aku tak bisa mundur selangkah menjemput masa lalu, maka aku akan melangkah dua tahun ke depan untuk menemui masa depan yang kau sebut ‘Cinta’”.

                                                                Ncue tarra
LALAI
Ncue tarra

Di setiap masa yang berlalu
Ada kisah tentang redupnya tawa
pada bulan-bulan lara penuh murka
Murka yang menagis menggantikan hujan
Mengirimkan puing-puing deru
Menghapuskan makna do’amu

Ketika hujan turun
Nafi’an berubah menjadi jeritan
Menanpar alpamu dalam keramaian
Derunya mengalahkan amukan pasukan Ababil
Deru dalam api, deru dalam larva, deru dalam air, deru dalam batu deru dalam debu
Beradu menguji lalaimu
Menghapuskan amnesia panjangmu
Pada bumi yang mulai usang bagai ensiklopedi lama


Banda Aceh, 2014
Kau itu apa?
Kaukah bara yang menyala dalam lara
Kau itu apa?
Kaukah remang yang malang
Kau itu apa?
Kaukah takut yang hidup di mata

Dengar kata ini, dengar!
Masih tentangmu yang terjebak nalar dhaifmu
Kisahmu telahku baca hai petakut
Dalam pepatah-pepatah lama: ‘ sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga’
Kau itu apa?

Banda aceh, 2014


“Kuasku tak mampu lagi meliuk-liuk di atas kanvas putih itu, khatam sudah semua kisah dibalik warna, yang tersisa hanya sketsa buta”.

                                                                                                                                            Ncue tarra

                                                                                                                                    Banda Aceh, 2014
KITA TANPA TANGSIL

                                Ncue tarra

Ana;  kita berada di jarak tanpa tara
Seperti Maya kita nercerita
Tentang kisah yang berlalu lama
Juga tentang  si Titin yang mengaduh mengelu
Berharap Sakinah menaunginya di ruang tak bermasa

Ana;  telah kita ikuti warna yang dibawakan Nurul dan Hudia itu
Walau ingatan kita di pasung sendu
Luas perjalanan yang kita lalui tak tertafsirkan oleh tangsil kata
Puas kita berkelana mencari jabaran seroja
Dalam satire senja
Memecahkan temaran menyatukan jiwa
Mengikatnya dengan rabhitah yang dalam


Banda aceh, september  2013
RASA DAN CINTA

                                Ncue tarra

Seperti sejuknya Fajar
Yang mengantarkanku pada Anwar
Di  sore Ashr yang membuatku jatuh cinta
Pada senyuman mentari
Pada lukisan langit cakrawala
Yang menitipkan Farhan pada warna-warni senja

Beranjak dari kehangatan itu
Aku bertemu Alfi Syahrin yang meronakan sinarnya di ramadhan  lalu
seputih salju menerangi aspal jalan-jalan lusuh
Membuatku terbuai dalam rasa yang dalam
Tentang cinta pada Ridho dan masa yang di berikan illahi


Aceh.
MENYESAL  DAN KEMBALI

                                Ncue tarra

Tuhan,  akulah yang buta
Butaku bukan tak bermata
Namun, lidah dan hatikulah yang gelap
Terlelap dalam kehidupan gemerlap
Menutup jarak dari semua cintamu

Tuhan, akulah yang bisu
Bisuku bukan tak bersuara
Namun mulutku dan hatiku
Yang gagap dari setiap syukur dan dzikir
Dzikir yang menawungi seantero bumi

Tuhan, akulah segala yang hilang
Hilang dari cahaya indahmu
langkahku gontai perlahan menjauhimu
Bukan karena engkau yaa Rabby
Namun karena nafsu memperbudakku

Tuhan, akulah yang salah atas semua kealpaan ini
Maka, ampunilah aku
Terimalah isak taubatku


Banda Aceh

"Meski rasa terus berjelaga didalam qalbu,

namun aku tetap bungkam dalam harap ".

Ncue tarra
PODMA JINGGA

: maya sari

Lekat matamu nanap
Menyelami jejak di lautan fana
Bagai bulir-bulir  lara tanpa alpa
Derita masa menghujani mu
Tepat dari langit magenta memasungmu dilema
Namun  kau podma tak jua lusuh oleh duka
Semerbakmu menebar cinta
Walau luka nanar
Indahmu penentram qalbu
Walau haru mencabik-cabik jiwamu
Kau podma jingga
Yang menjadikan sabar sebagai mahkota segala  lara
Kau podma jingga
Jingga yang mekar dengan luka
Namun indahmu menepis rawa-rawa kelabu
Menjemput mega cintamu


                                Ncue tarra
                                Banda Aceh


MATEMATIKA CINTA

                             Ncue tarra

Awalnya kita hanyalah bilangan prima
Hingga kita bertemu untuk mengalikan cinta kita
Dan membaginya di sudut hati
Kita mulai semua secara cacah

Kita disatukan seperti bilangan kompleks yang nyata
Kita komposisikan cinta kita
Hingga terjalin akad suci


Banda Aceh

PELAJARAN DARI  YUNUS

                                Ncue tarra

Kau janganlah terlena lautan fana
Apa yang tampak sungguh tak dzahir
Melajulah dengan perahu kebenaran
Tidakkah kau dengar kabar tentang yunus yang disantap hiu
Karena meninggalkan kaumnya tanpa titah Allah?

Kau teruslah  berlayar
Percayakan hatimu pada nahkoda ketaqwaan
Sampaikanlah risalah suci samapai perahu
Bermuara  di lautan permata surgawi


Banda aceh, 2013

ISTIKHARAH CINTA

ISTIKHARAH CINTA

                                     Ncue tarra

Kutemukan kau dalam lelap yang syahdu
Terijabah jua do’a cinta
Tentang sejuta kasih penggetar qalbu

Kau yang tawadhuk
Menjadi lukisan mimpiku
Pertanda bahagia dari-NYA
Setelah istikharah panjang

Kau dengan kesholehanmu
Menjadikan santun sebagai jubah keimanan padanya
Mempesonakanku

Kaupun terpaut pada jiwa yang merindu
Hingga segala magnet cinta
Menatu dalam akad suci

Bogor, 30-07-2013




Selasa, 20 Januari 2015

pelita

PELITA

Dulu, langit penuh aksara menggenggam lara
Air mata meronta di ujung mata
Menikam suasana menabur bilur-bilur luka
Memperjelas makna kehilangan; jasad tiada bermaya

Saat bumi berputar, berotasi
Saat itu pula kami di tampar kenyataan
Dunia hanya melukiskan nestapa
Duka mekar di pusara hampa
Kami masih meradang kehilangan
Langkah gontai tanpa rasa
Namun 
Sang waktu beri ruang untuk maju melepas segala benalu
Memperkenalkan dunia yang menawan
Setelah segala fatamorgana dengan tanganmu yang lembut atas RahmatNya

Harum do'a terucap merdu dari lisan-lisan kaku 
Terlimpah kasih untukmu
Kehadiranmu bagai lentera
Menyikap seluruh samar
Melepas belenggu jiwa dengan petuah
Mencipta rumah bak istana megah
Menghiasi langit-langit mimpi
menghayun buai penuh cinta

Kau dan kami: kita
Adalah anugrah surga dunia dari pertemuan luar biasa
Dedikasi cinta ini untukmu
Figur terindah yang merangkul ramah
Walau kami tahu
Cintamu yang istimewa takkan terbayar bait kata
Namun ucapan terima kasih dari kami mutiaramu takan pernah luntur bergema
Atas segala yang telah mengalir mengalun darimu berkat izinNya
Kau cermin pelita kami: Bunda.


Takengon, 2014

Contoh riwayat hidup dalam bentuk narasi

RIWAYAT HIDUP

A. BIODATA DAN LATAR BELAKANG KELUARGA

            Nama saya Mutiara Indah, saya anak bungsu dari sebelas bersaudara yang lahir di kota dingin, dataran tinggi gayo, Takengon pada tanggal 14 Agustus 1994 dengan jenis kelamin perempuan dari pasangan Sulaiman bin Samad dan Nur Cahaya binti Usman. Saat ini saya sudah Yatim Piatu. Masa kecil saya,  saya tinggal di sebuah rumah sederhana di lorong Mjm kampung Keramat Mupakat kec. Bebesen kabupaten Aceh Tengah, bersama kedua orang tua saya dan 2 orang kakak serta 1 orang kakak laki-laki yang masing-masing mereka masih menduduki bangku perkuliahan dan sekolah, selebihnya telah menikah serta merantau di kota seberang. Sedangkan saya masih menduduki bangku sekolah dasar (SD) di SDN 6 Takengon kelas V. Saya dibesarkan dengan bimbingan dan kasih sayang yang luar biasa dari kedua orang tua saya. Sedari kecil kami diajarkan berbagai macam keterampilan dan juga diajarkan menulis puisi, cerpen dan lainnya, hingga membuat saya bercita-cita ingin menjadi pengusaha dan menjadi penulis

            Kami hidup dengan harmonis, namun pada awal 2006 kebahagiaan itu seolah terusik oleh kabar tentang penyakit ibu, yang setelah melalui proses pemeriksaan di RSUD Datu beru Takengon, ternyata mengidap kanker payudara stadium 4 dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Adam Malik Medan untuk menjalani oprasi pengangkatan sel kanker dan kemotrapy dengan segera. Ayah sangat khawatir ketika itu, karena hanya sendiri saja ketika menemani ibu menjalani oprasi, sedang kami harus tetap tinggal dirumah karena harus ke sekolah. Alhamdulillah operasi ibu berjalan lancar, hampir sebulan ibu dirawat dan sudah di perbolahkan pulang pada awal Februari, tetapi ibu harus kembali lagi setiap bulannya untuk menjalani kemotrapy. Waktu berlalu, hingga sampailah pada bulan Mei, jadwal terakhir kemotrapy ibu. Lagi, ibu pergi ke kota Medan bersama ayah dengan menggunakan mobil ambulance. Semalam menjalani perawatan di rumah sakit Adam Malik, tiba-tiba ibu memaksa ayah untuk membawanya pulang ke rumah. Sambil memohon dengan sangat, hingga menbuat ayah tak bisa menolak. Walau sebenarnya pihak rumah sakit tidak memberikan ijin, namun ibu tetap mendesak ayah.

            Ketika itu hari Kamis malam Jum’at, ayah dan ibu pulang ke menuju Takengon, namun ditengah perjalanan ibu minta mobil di berhentikan dan minta ijin ayah untuk menelpon kakak dan abang-abang saya. Ayah mengabulkan keinginan ibu kemudian menyambungkan telpon ke abang serta kakak saya. Dari jauh terdengar suara ibu parau, lembut dan terkadang samar, memberi petuah serta nasehat, sambil sesekali menarik nafas panjang dan itulah tarikan nafas terakhirnya, ibu meninggal dunia di dalam mobil ambulance pada hari Jum’at tanggal 12 Mei 2006. Kami sangat berduka  atas kepergian ibu, karena ibu adalah segalanya bagi setiap anak, tanpanya langkah akan gontai dan hilang arah. Terlebih bagi ayah, ayah sungguh sangat kehilangan, sampai ayah juga jatuh sakit sepeninggal ibu. Ayah menderita stroke dan komplikasi. Namun seminggu sebelum peringatan 1 tahun ibu, alhamdulillah ayah pulih dan bisa berbicara dengan normal. Sampailah hari itu, malam peringatan 1 tahun ibu. Dari rona wajah ayah, masih tampak lukisan kehilangan yang dalam. Hingga ayah kembali jatuh sakit semalam setelah peringatan 1 tahun kepergian ibu, ayah tiba-tiba mendapatkan serangan jantung dan dilarikan kerumah sakit terdekat di kota kami, tepat setelah adzan isya berkumandang ayah akhirnya menyusul ibu pada hari senin, 13 Mei 2007. Tinggallah saya bersama ke 3 saudara saya dirumah peninggalan ayah. Sepeninggal ayah dan ibu, saya benar-benar merasa kehilangan. Teringat tentang betapa bahayanya penyakit yang di derita ayah dan ibu, kemudian terbesit keinginan dihati untuk menjadi dokter, agar nantinya tak ada lagi kakak atau abang saya yang meninggal karena penyakit-penyakit mengerikan, pikirku.


B. KESAN PESAN DI PAY NOORDEEN

            Seiring berjalannya waktu, kehidupan mulai terasa berat di jalani, keuangan keluarga juga tidak baik. Saya dan ke dua kakak saya yang masih duduk di bangku sekolah terancam putus sekolah, karena kakak kami , Mailida, yang ketika itu masih kuliah, tidak mampu membiayai sekolah kami, sementara abang dan kakak yang lain juga hidup dengan sangat pas-pasan hingga tidak dapat membantu membiayai sekolah kami. Kak Mailida terus berusaha memutar otak, mencari cara agar kami tetap bisa sekolah. Mungkin karena ia tak sanggup mendengar komentar pedas para tetangga, yang mengatakan ‘sudah menjadi takdir bagi anak yatim piatu untuk putus sekolah’, dan menyalahkan ayah yang tidak meninggalkan banyak harta.
Kepedihan itu berlalu seiring sampainya angin segar dari seorang teman kakak yang mengabarkan bahwa, di kota kami tinggal terdapat sebuah panti asuhan yang membiayai sekolah para anak yatim piatu. Awalnya kakak berberat hati memasukan kami ke panti asuhan itu, namun karena ia tak ingin kami putus sekolah, akhirnya kakak memutuskan mengantar saya dan kakak laki-laki saya Heri Rizkan ke Panti Asuhan Yayasan noordeen, dedalu tepatnya pada tahun 2008, sementara seorang kakak perempuan saya Wahyu Sayang Sah yang juga masih bersekolah tinggal bersamanya di rumah.

            Selama di PAY Noordeen, begitu banyak hal luar biasa yang terjadi di kehidupan kami, terlebih-lebih saya. Setiap anak di PAY Noordeen diharuskan memiliki prestasi yang baik, terutama di sekolah. Karena kami anak Noordeen telah berikrar menjadi anak-anak yang sholeh/ah dan berprestasi. Banyak hal yang saya pelajari selama tinggal disana. Setiap kami diajarkan agar hidup mandiri, semua dimulai dari hal-hal kecil, seperti menyuci piring sendiri setelah makan, merapikan tempat tidur setelah bangun tidur, menyuci baju sendiri dan lainnya. Poin terpenting adalah, kami diajarkan agar tidak lupa beribadah serta belajar. PAY Noordeen membuat kami merasa seperti berada di rumah sendiri, walau berbeda suku dan kepala, kami diajarkan untuk saling menyayangi satu sama lain selayaknya keluarga. Setiap harinya kami diberi jadwal untuk belajar bahasa inggris, bahasa arab dan komputer, agar kami tidak tertinggal dengan anak-anak beruntung lainnya di luar sana, yang memiliki kecukupan dalam hidup.

            Alhamdulillah, selama tinggal di PAY Noordeen prestasi saya terus membaik, di sekolah saya terdaftar sebagai salah seorang siswa berprestasi baik di bidang eksakta dan seni, mulai dari kelas VII-IX di sebuah sekolah, MTsN 1 Takengon namanya. Saya juga pernah memenangkan juara 2 hifzil qur’an tingkat kampung, mewakili PAY Noordeen di masjid At-taqwa Bale Takengon. Saya belajar dengan sungguh untuk  membukakan mata para tetangga saya, bahwa kami anak pintar yang juga berhak mengenyam pendidikan. Namun sayang semua itu tak berlangsung lama,diakhir kelas IX saya di kembalikan ke keluarga, karena di tahun kedua tinggal di PAY noordeen, saya mulai sering sakit-sakitan dan terpaksa di kembalikan oleh pihak panti ke keluarga untuk dirawat pada tahun 2009. Tapi 2 tahun berada di PAY noordeen adalah awal baru untuk episode kehidupan saya. Semua pengalaman luar biasa , bisa saya gunakan hingga setelah saya diluar PAY Noordeen dan semua kebiasaan baik yang diajarkan benar-benar melekat pada diri saya.



C. KEHIDUPAN SETELAH KELUAR DARI PAY NOORDEEN

            Tahun selanjutnya saya melanjutkan pendidikan di sebuah Madrasah Aliyah Negeri (MAN ) 1 Takengon. Jalan satu semester bersekolah, duka lama kembali terulang, saya terancam putus sekolah karena biaya sekolah yang mahal, juga karena kakak belum mendapatkan perkerjaan setelah lulus kuliah. Saya benar-benar khawatir ketika itu. Saya akan merasa sedih dan malu jika harus putus sekolah, terlebih lagi setelah mengingat perjuangan kak Mailida selama ini untuk menyekolahkan kami.
Saya mulai sibuk memikirkan cara agar bisa memudahkan beban kak Mailida, hingga ia tak perlu bekerja terlalu keras, di tambah lagi karena kakak sudah mulai sering sakit karena terlalu keras berkerja untuk kami adik-adiknya. Namun berkat pertolongan dan kuasa Allah, angin segar kembali berhembus kearah saya. Dari bidang kesiswaan saya mendapat kabar, bahwa siapa saja yang berhasil masuk dalam peringkat 10 besar di kelas, akan mendapatkan beasiswa berprestasi. Saya berjuang dengan sungguh untuk mendapatkannya, saya belajar dan berteman dengan mereka yang pintar di kelas, walau terkadang di cap pilih-pilih teman saya tak perduli, saya sangat percaya dengan pepatah arab yang mengatakan :”siapa yang berteman dengan pembuat minyak wangi maka akan kecipratan wanginya dan siapa yang berteman dengan pengolah besi, maka akan kecipratan api dan baunya”. Akhirnya usaha saya membuahkan hasil, saya masuk dalam kategori 10 siswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa berpresrasi sampai lulus sekolah dengan syarat dapat mempertahankan prestasi itu. Selain itu saya juga tercatat sebagai salah seorang siswi berprestasi di bidang seni, di awal tahun 2010 saya memenangkan juara I membaca puisi tingkat SMA/sederajat se-Kab. Aceh Tengah, saya juga pernah mewakili Aceh Tengah ke Aceh Tamiang dalam rangka MTQ tingkat Provinsi dan masih banyak lagi prestasi lainnya.

            Setelah tamat dari bangku sekolah, saya mengikuti tes untuk kuliah ke Yogjakarta dengan kampus impian UGM, melalui beasiswa bidik misi, namun sayang tak ada kabar pasti tentang kelulusan saya. Hingga akhirnya saya mengurungkan niat untuk kuliah dan memilih menganggur dengan alasan tak ingin lagi membebani kak Mailida. Yang terpikir oleh saya ketika itu adalah membuka usaha kreatif dengan menjajakan hasil buah tangan saya sendiri atau melamar pekerjaan dimanapun, walau saya tak yakin bisa melakukannya, namun itulah yang terbesit dihati. Bulan-bulan berlalu, dan benar, mental saya belum siap untuk berkerja. Walau ada beberapa tawaran yang datang, seperti mengajar les privat, namun saya tak mengambilnya. Saya takut mengajarkan yang salah karena kadar ilmu saya sungguh sangat sedikit. Saya mulai merasa stres karena hanya berada di rumah, tanpa ada kegiatan yang bermanfaat yang bisa saya lakukan selain membersihkan rumah setiap harinya.
            Akhirnya saya mulai mencari-cari kegiatan di luar rumah, salah satunya dengan berorganisasi, saya tercatat sebagai salah satu ketua bidang dalam sebuah organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia) dan beberapa organisasi lainnya. Saya mulai sibuk mengikuti kegiatan-kegiatan dalam organisasi, saya benar –benar lupa tentang mimpi saya sebelumnya, seolah mencoba menemukan hal lain berupa pengalaman di luar sana. Setahun mengikuti PII, saya mulai sering di kirim keluar kota untuk mengikuti berbagai macam kegiatan seperti LMD ( latihan manajemen dasar), LBT (leardership basic training) dan kegiatan serupa lainnya.
             Saya adalah yang paling aktif ketika itu dalam organisasi. Hingga suatu hari ketika dalam forum diskusi bersama seluruh teman di luar kota, kami saling sharing pengalaman, sampailah kesempatan itu kepada saya. Saya ceritakan kisah kehidupan saya dan apa yang terjadi pada saya saat ini, hingga seorang teman berkomentar : “ apa kamu tidak berencana untuk kuliah, atau mencari beasiswa selain beasiswa yang pernah kamu ikuti dulu?”. Saya selalu berfikir untuk melanjutkan kuliah, namun karena tidak tahu harus mencari info dari mana saya jadi diam saja, kalau seandainya ada yang menyampaikan kabar beasiswa, saya akan mencoba untuk ikut , jelasku.

            Mendengar itu, tiba-tiba seorang kakak pelatih kami, yang memimpin ruang diskusi itu ikut berkomentar. “ Di Banda Aceh terdapat sebuah kampus yang menyiapkan beasiswa penuh untuk semua mahasiswa/i-nya, setiap bulannya semua mahasiswa/i akan diberikan uang saku sebesar 300 ribu, tetapi jurusan yang ada hanya jurusan bahasa arab program D2, LIPIA namanya (Lembaga Pendidikan Ilmu Islam dan Arab), kampus cabang di bawah kampus Maalik Saud di Riyadh. kuliahnya tanpa di pungut biaya sedikitpun, termasuk SPP dan buku, diberikan dari kampus.

            Awalnya saya tidak merasa tertarik, penyebabnya adalah karena saya tidak terlalu menyukai bahasa arab, disebabkan karena seringkali guru semasa sekolah dulu, mengajarkan dan menjelaskan pelajaran dengan sangat monoton. Namun karena itu adalah beasiswa penuh, saya mencoba untuk ikut tes di akhir bulan Desember 2012, niatnya hanya iseng saja. Betapa terkejutnya saya karena sebulan setelahnya saya mendapatkan pesan singkat dari pihak kampus bahwa saya dinyatakan lulus. Perasaan saya sungguh tak karuan, karena selepas tes saya tak merencanakan apapun. Ketika itu saya yakin bahwa saya tidak akan lulus. Saya benar-benar khawatir. Saya ceritakan semua kejadian ini pada kak Mailida yang ketika itu telah menjadi dosen honorer di kampus tempat dia berkuliah dulu. Mendengar kabar itu, kak Mailida kembali semangat untuk mengantarkan saya mengambil gelar sarjana dan berkata: “ karena adek sudah lulus, maka gunakan kesempatan itu, jangan sia-siakan. Dimana pun kita berada yang penting tetap belajar. Selama itu kebaikan, maka pelajarilah. Tak ada orang yang tak bisa, semua kita dilahirkan dengan potensi yang luar biasa. Jadi cobalah, walau kamu tak menyukainya, soal biaya hidup kakak akan carikan untukmu”. Mendengar petuah dan semangat kakak, saya akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Banda Aceh menjalani perkuliahan dengan modal nekat dan tekad serta bekal uang seadanya untuk mencari kontrakan.

            Bulan-bulan berlalu dengan begitu berat, tak ada perubahan yang terjadi pada diri saya. Saya benar-benar tak mengerti materi yang diajarkan karena diajarkan langsung oleh orang Arab tanpa penerjemah pula. Saya merasa menjadi manusia paling bodoh ketika itu. Sebab saya benar-benar buta dengan bahasa arab. Empat bulan menjalani kuliah, kabar tentang ujian final mulai tersebar. Saya benar-benar takut, tak tahu harus bagaimana. Saya hanya menghafal semua isi buku tanpa tahu apa maksudnya. Dan ketika ujian tiba, saya menuliskan semua yang saya hafal tanpa tahu apakah benar begitu jawabannya. Hari pembagian nilai tiba, saya benar-benar takut, khawatir jika saya raashib (harus mengulang semester). Namun sesuatu yang tak saya duga terjadi, saya justru masuk dalam 20 mahasiswa/i terbaik dari 65 orang angkatan saya. Ketika itu saya benar-benar sadar, bahwa ketika saya mau berusaha walau saya tak mengerti, Allah akan mudahkan jalan saya. Saya kabarkan pada kak Mailida kalau saya akan berjuang untuk mencintai bahasa arab, dan memohon padanya untuk bertahan membiayai kuliah saya, walau hanya dengan uang 200 ribu tiap bulannya. Saya juga mencoba memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di sebuah TPA ternama di Banda Aceh, dikarenakan tidak adanya kejelasan tentang beasiswa yang katanya di berikan setiap bulan. Saya bekerja setiap hari senin-jum’at dari jam 14:30-16:46 untuk meringankan beban kak Mailida. Setiap hari Sabtu dan minggu saya juga berjuang melawan rasa malas dengan pergi menuju rumah teman-teman yang saya rasa bisa membantu saya memahami pelajaran. Saya juga bergabung dalam beberapa komunitas pencinta sastra dan seni di kota Banda Aceh, juga bergabung dalam komunitas photografi. Setiap hari berlalu begitu. Dan ketika final semester dua hasil ujian saya semakin membaik. Saya terus memperbaharui niat saya, agar belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan karena sesuatu yang lain. Tahun 2013 berlalu dengan semua perjuangan luar biasa itu.

            Libur musim panas dimulai, untuk  pertama kalinya saya terbang ke Jakarta seorang diri, dengan di biayai oleh organisasi yang saya pimpin. Saya menghabiskan masa liburan di ibukota. Tepatnya di Gunung Putri, Bogor. Selama 3 bulan saya berada di kota hujan, menginap dari rumah ke rumah, terkadang saya menginap di rumah seorang kenalan kakak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saya ke ibu kota dalam rangka mengikuti “Kemah Sastra Nasional, di Curug Nangka, Bogor. Saya pergi mewakili sebuah komunitas menulis yang saya ketuai “Denang Pena” dan saya berhasil pulang dengan membawa gelar sebagai peserta “Terbaik” dan juga menjadi satu-satunya peserta yang datang dari Aceh yang sangat jauh jaraknya dari Ibukota.

            Setelah libur panjang usai, saya kembali ke Aceh untuk kembali melanjutkan perkuliahan. Semester ketiga dimulai tepat pada awal Januari 2014. Cerita baru muncul, saya tidak sanggup membayar uang kotrakan untuk setahun mendatang. Saya sungguh takut kali ini, sempat terpikir untuk meminjam uang pada teman-teman, namun saya takut jika saya tidah sanggup melunasinya, namun betapa bersyukurnya, sungguh Allah begitu banyak memberikan kemudahan kepada saya, saya mendapatkan kabar bahwa ternyata beasiswa yang dijanjikan kampus telah cairkan, semua uang saku setiap bulannya dikumpulkan dan di cairkan setiap akhir semester. Uang itu saya gunakan untuk membayar uang kontrakan selama setengah tahun kedepan. saya masih berjuang dengan sungguh dalam belajar. tetapi karena pola hidup yang kurang baik, saya jadi sering sakit dan jarang masuk kuliah. saya memutuskan untuk berhenti berkerja, namun betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa kak Mailida ternyata juga memutuskan berhenti menjadi Dosen Honorer karena sebuah alasan yang tak saya mengerti, hingga membuatnya jarang mengirimkan uang belanja. Hari-hari berlalu begitu berat. Kak Mailida mulai menyerah pada saya. Di tak sanggup lagi membiayai kuliah saya. Namun semangat dalam diriku masih berkibar dengan bara yang menyala-nyala. Saya katakan pada kak Mailida bahwa saya tidak akan menyerah. Saya akan berjuang hingga akhir. Jika dia tidak sanggup mengirimkan uang bulanan saya, cukup kirimkan sayur dan beras hasil pertanian peninggalan ayah, sementara uang untuk setiap bulannya saya yang memikirkannya sendiri.

            Setiap hari sepulang kuliah, saya memikirkan cara untuk menghasilkan uang dan menabung. Berat sungguh, otak saya buntu. Sebulan berlalu dengan tidak karuan. Saya semakin setres. Saya berfikir dan berfikir juga memohon kemudahan dari Allah. Saya mulai berfikir untuk menjalankan usaha kreatif yang pernah tertunda, dengan membuat berbagai macam kerajinan sepulang kuliah dengan target pasar anak-anak SD, tetangga sekitar kontrakan saya. Saya sibuk berkreasi, sambil sesekali membagikan photo kreasi saya ke jejaring sosial. Sungguh tak disangka, ternyata justru banyak teman yang juga mau memesan hasil karya saya. Pundi-pundi uang mulai terkumpul, saya mulai menabung setiap harinya 2000 rupiah dan memutarnya menjadi modal untuk berjualan pulsa. Dulu semasa sekolah di Madrasah Aliyah saya juga pernah mengikuti pelatihan dokter muda herbalis muslim yaitu pengobatan ala nabi (Bekam), untuk melunasi cita-cita masa kecil saya. Saya gunakan juga peluang itu untuk mendapatkan uang dengan promosi kepada teman-teman di kelas dan juga orang tua mereka bahwa saya membuka klinik bekam, setelah melalui proses panjang Ijin Praktek. Di bekali pengalaman menjadi asisten dokter muda muslim selama 2 tahun, saya mulai berjelaga dengan semua aktifitas itu, tanpa melupakan pendidikan saya. Tetapi semua tak berlangsung lama, karena kondisi kesehatan saya semakin tidak stabil, bahkan tak jarang saya harus dilarikan kerumah sakit karena muntah teralu banyak dan tak sadarkan diri. Akhirnya saya tidak lagi menerima tawaran membekam. Saya hanya fokus untuk sembuh dari sakit karena ujian semester tiga didepan mata.

            Hari itu pun tiba, kami mengikuti ujian dengan pengawasan yang sangat ketat. Saya benar benar khawatir karena tak belajar dengan baik. Di tambah lagi karena saya masih dalam masa perawatan. Saya menjawab soal ujian dengan semampu saya. Namun bagaikan petir di siang bolong, saya melihat kecurangan terjadi ketika ujian. Banyak diantara teman-teman yang saling berbagi jawaban dan membuka buku. Antara kesal dan kecewa rasanya. Saya kesal dengan kecurangan mereka yang membodohi diri sendiri dan kecewa melihat prilaku mereka yang begitu tega melakukan kecurangan sementara saya yang sakit berjuang mati-matian belajar. Saya benar-benar kesal dan sedih, sesampai di rumah kejadian itu masih teringat-ingat di fikiran saya. Saya ceritakan kekesalan saya pada kakak tertua di rumah kontrakan saya. Mendengar itu, dia justru memotivasi saya agar tak perlu bersedih dan membuang waktu. Ketika mereka ingin berbuat curang biarlah, namun jangan terpengaruh. Tetap fokus dengan impian dan niat baikmu untuk belajar serta jangan curang. Minta do’a dari keluarga dan teman agar diberikan kesangggupan dan kesembuhan, nasihatnya.

            Mendengar kata-katanya saya teringat dengan adik-adik PAY Noordeen yang sempat saya kunjungi ketika libur musim panas. Saya hubungi orang tua kami semua pak Addizar untuk minta dido’akan agar diberikan kesembuhan dan kesanggupan dalam menjalani ujian. Dan sungguh luar biasa, do’a mereka terijabah oleh Allah. Saya sembuh dan hasil ujian saya sungguh sangat memuaskan. Saya  masuk ke dalam 15 besar terbaik. Saya terus berjuang bertahan kuliah, sementara banyak diantara teman-teman yang harus berhenti karena tidak sanggup hingga terpaksa di keluarkan oleh pihak kampus (DO). Saingan saya dalam belajar semakin berkurang, kami hanya tersisa 38 orang lagi. Saya sangat takut jika menjadi orang yang berada di posisi terakhir di final akhir semester. Final penentu jalan saya selanjutnya. Saya masih berjuang belajar siang dan malam untuk mengalahkan kemalasan saya. Hingga sampailah pada hari penentuan setelah ujian final usai. Saya berhasil masuk ke dalam peringkat 10 terbaik dengan nilai akhir “jaid jiddan” kemudian pada tanggal 15 Desember 2014, saya dan seluruh teman seangkatan saya di wisudakan, saya dan beberapa teman berprestasi lainnya mendapatkan hadiah lulus bebas tes untuk masuk ke perkuliahan yang sebenarnya Takmili program D3 dan untuk meraih gelar sarjana S1 di LIPIA Jakarta yang akan menghabiskan 5 tahun lamanya. Saya sangat berharap bisa mengambil peluang ini, namun timbul kekhawatiran tentang biaya hidup yang sudah pasti akan lebih mahal dari pada di Aceh. Saya rasa saya akan sangat menyesal jika tak mengambil peluang ini, karena ini beasiswa penuh, tak sepeserpun uang di minta dari kami semua para mahasiswa/i termasuk uang SPP, justru kami diberikan fasilitas lengkap sampai ke buku panduan. Semua gratis, hanya persoalan biaya hidup di ibukota saja yang saya takutkan. Saya sudah pasti harus mengontrak rumah dan sebagainya. Sungguh besar harapan saya bisa terbang ke Jakarta.
Hingga untuk pertama kalinya saya memberanikan diri meminta kepada kakak dan abang-abang saya yang lain, saya tahu mereka bukan tidak perduli pada saya, hanya saja mereka belum bisa membiayai sekolah saya selama ini, karena telah memiliki tanggungan anak dan istri. Saya memohon tiap orangnya memberikan uang 200 ribu untuk biaya ongkos pesawat saya. Betapa bersyukurnya saya bahwa ternyata mereka mengiakan permohonan saya. Sekarang, tiket keberangkatan sudah di tangan saya. Tinggal kesiapan mental dan dana hidup di jakarta yang nantinya harus saya pikirkan.

Dan ketika itu pula saya mulai memperbaiki niat saya untuk melanjutkan kuliah dengan sungguh-sungguh agar dapat memperbaiki kehidupan saya dengan ilmu dan mengangkat derajar almarhum kedua orang tua saya. Agar tak ada lagi perbedaan antara saya dan teman-teman yang lainnya, agar tak ada lagi istilah pandang sebelah mata, untuk anak-anak yang kurang beruntung seperti saya.


Sekian.







Contoh riwayat hidup dalam bentuk narasi

RIWAYAT HIDUP

A. BIODATA DAN LATAR BELAKANG KELUARGA

            Nama saya Mutiara Indah, saya anak bungsu dari sebelas bersaudara yang lahir di kota dingin, dataran tinggi gayo, Takengon pada tanggal 14 Agustus 1994 dengan jenis kelamin perempuan dari pasangan Sulaiman bin Samad dan Nur Cahaya binti Usman. Saat ini saya sudah Yatim Piatu. Masa kecil saya,  saya tinggal di sebuah rumah sederhana di lorong Mjm kampung Keramat Mupakat kec. Bebesen kabupaten Aceh Tengah, bersama kedua orang tua saya dan 2 orang kakak serta 1 orang kakak laki-laki yang masing-masing mereka masih menduduki bangku perkuliahan dan sekolah, selebihnya telah menikah serta merantau di kota seberang. Sedangkan saya masih menduduki bangku sekolah dasar (SD) di SDN 6 Takengon kelas V. Saya dibesarkan dengan bimbingan dan kasih sayang yang luar biasa dari kedua orang tua saya. Sedari kecil kami diajarkan berbagai macam keterampilan dan juga diajarkan menulis puisi, cerpen dan lainnya, hingga membuat saya bercita-cita ingin menjadi pengusaha dan menjadi penulis

            Kami hidup dengan harmonis, namun pada awal 2006 kebahagiaan itu seolah terusik oleh kabar tentang penyakit ibu, yang setelah melalui proses pemeriksaan di RSUD Datu beru Takengon, ternyata mengidap kanker payudara stadium 4 dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Adam Malik Medan untuk menjalani oprasi pengangkatan sel kanker dan kemotrapy dengan segera. Ayah sangat khawatir ketika itu, karena hanya sendiri saja ketika menemani ibu menjalani oprasi, sedang kami harus tetap tinggal dirumah karena harus ke sekolah. Alhamdulillah operasi ibu berjalan lancar, hampir sebulan ibu dirawat dan sudah di perbolahkan pulang pada awal Februari, tetapi ibu harus kembali lagi setiap bulannya untuk menjalani kemotrapy. Waktu berlalu, hingga sampailah pada bulan Mei, jadwal terakhir kemotrapy ibu. Lagi, ibu pergi ke kota Medan bersama ayah dengan menggunakan mobil ambulance. Semalam menjalani perawatan di rumah sakit Adam Malik, tiba-tiba ibu memaksa ayah untuk membawanya pulang ke rumah. Sambil memohon dengan sangat, hingga menbuat ayah tak bisa menolak. Walau sebenarnya pihak rumah sakit tidak memberikan ijin, namun ibu tetap mendesak ayah.

            Ketika itu hari Kamis malam Jum’at, ayah dan ibu pulang ke menuju Takengon, namun ditengah perjalanan ibu minta mobil di berhentikan dan minta ijin ayah untuk menelpon kakak dan abang-abang saya. Ayah mengabulkan keinginan ibu kemudian menyambungkan telpon ke abang serta kakak saya. Dari jauh terdengar suara ibu parau, lembut dan terkadang samar, memberi petuah serta nasehat, sambil sesekali menarik nafas panjang dan itulah tarikan nafas terakhirnya, ibu meninggal dunia di dalam mobil ambulance pada hari Jum’at tanggal 12 Mei 2006. Kami sangat berduka  atas kepergian ibu, karena ibu adalah segalanya bagi setiap anak, tanpanya langkah akan gontai dan hilang arah. Terlebih bagi ayah, ayah sungguh sangat kehilangan, sampai ayah juga jatuh sakit sepeninggal ibu. Ayah menderita stroke dan komplikasi. Namun seminggu sebelum peringatan 1 tahun ibu, alhamdulillah ayah pulih dan bisa berbicara dengan normal. Sampailah hari itu, malam peringatan 1 tahun ibu. Dari rona wajah ayah, masih tampak lukisan kehilangan yang dalam. Hingga ayah kembali jatuh sakit semalam setelah peringatan 1 tahun kepergian ibu, ayah tiba-tiba mendapatkan serangan jantung dan dilarikan kerumah sakit terdekat di kota kami, tepat setelah adzan isya berkumandang ayah akhirnya menyusul ibu pada hari senin, 13 Mei 2007. Tinggallah saya bersama ke 3 saudara saya dirumah peninggalan ayah. Sepeninggal ayah dan ibu, saya benar-benar merasa kehilangan. Teringat tentang betapa bahayanya penyakit yang di derita ayah dan ibu, kemudian terbesit keinginan dihati untuk menjadi dokter, agar nantinya tak ada lagi kakak atau abang saya yang meninggal karena penyakit-penyakit mengerikan, pikirku.


B. KESAN PESAN DI PAY NOORDEEN

            Seiring berjalannya waktu, kehidupan mulai terasa berat di jalani, keuangan keluarga juga tidak baik. Saya dan ke dua kakak saya yang masih duduk di bangku sekolah terancam putus sekolah, karena kakak kami , Mailida, yang ketika itu masih kuliah, tidak mampu membiayai sekolah kami, sementara abang dan kakak yang lain juga hidup dengan sangat pas-pasan hingga tidak dapat membantu membiayai sekolah kami. Kak Mailida terus berusaha memutar otak, mencari cara agar kami tetap bisa sekolah. Mungkin karena ia tak sanggup mendengar komentar pedas para tetangga, yang mengatakan ‘sudah menjadi takdir bagi anak yatim piatu untuk putus sekolah’, dan menyalahkan ayah yang tidak meninggalkan banyak harta.
Kepedihan itu berlalu seiring sampainya angin segar dari seorang teman kakak yang mengabarkan bahwa, di kota kami tinggal terdapat sebuah panti asuhan yang membiayai sekolah para anak yatim piatu. Awalnya kakak berberat hati memasukan kami ke panti asuhan itu, namun karena ia tak ingin kami putus sekolah, akhirnya kakak memutuskan mengantar saya dan kakak laki-laki saya Heri Rizkan ke Panti Asuhan Yayasan noordeen, dedalu tepatnya pada tahun 2008, sementara seorang kakak perempuan saya Wahyu Sayang Sah yang juga masih bersekolah tinggal bersamanya di rumah.

            Selama di PAY Noordeen, begitu banyak hal luar biasa yang terjadi di kehidupan kami, terlebih-lebih saya. Setiap anak di PAY Noordeen diharuskan memiliki prestasi yang baik, terutama di sekolah. Karena kami anak Noordeen telah berikrar menjadi anak-anak yang sholeh/ah dan berprestasi. Banyak hal yang saya pelajari selama tinggal disana. Setiap kami diajarkan agar hidup mandiri, semua dimulai dari hal-hal kecil, seperti menyuci piring sendiri setelah makan, merapikan tempat tidur setelah bangun tidur, menyuci baju sendiri dan lainnya. Poin terpenting adalah, kami diajarkan agar tidak lupa beribadah serta belajar. PAY Noordeen membuat kami merasa seperti berada di rumah sendiri, walau berbeda suku dan kepala, kami diajarkan untuk saling menyayangi satu sama lain selayaknya keluarga. Setiap harinya kami diberi jadwal untuk belajar bahasa inggris, bahasa arab dan komputer, agar kami tidak tertinggal dengan anak-anak beruntung lainnya di luar sana, yang memiliki kecukupan dalam hidup.

            Alhamdulillah, selama tinggal di PAY Noordeen prestasi saya terus membaik, di sekolah saya terdaftar sebagai salah seorang siswa berprestasi baik di bidang eksakta dan seni, mulai dari kelas VII-IX di sebuah sekolah, MTsN 1 Takengon namanya. Saya juga pernah memenangkan juara 2 hifzil qur’an tingkat kampung, mewakili PAY Noordeen di masjid At-taqwa Bale Takengon. Saya belajar dengan sungguh untuk  membukakan mata para tetangga saya, bahwa kami anak pintar yang juga berhak mengenyam pendidikan. Namun sayang semua itu tak berlangsung lama,diakhir kelas IX saya di kembalikan ke keluarga, karena di tahun kedua tinggal di PAY noordeen, saya mulai sering sakit-sakitan dan terpaksa di kembalikan oleh pihak panti ke keluarga untuk dirawat pada tahun 2009. Tapi 2 tahun berada di PAY noordeen adalah awal baru untuk episode kehidupan saya. Semua pengalaman luar biasa , bisa saya gunakan hingga setelah saya diluar PAY Noordeen dan semua kebiasaan baik yang diajarkan benar-benar melekat pada diri saya.



C. KEHIDUPAN SETELAH KELUAR DARI PAY NOORDEEN

            Tahun selanjutnya saya melanjutkan pendidikan di sebuah Madrasah Aliyah Negeri (MAN ) 1 Takengon. Jalan satu semester bersekolah, duka lama kembali terulang, saya terancam putus sekolah karena biaya sekolah yang mahal, juga karena kakak belum mendapatkan perkerjaan setelah lulus kuliah. Saya benar-benar khawatir ketika itu. Saya akan merasa sedih dan malu jika harus putus sekolah, terlebih lagi setelah mengingat perjuangan kak Mailida selama ini untuk menyekolahkan kami.
Saya mulai sibuk memikirkan cara agar bisa memudahkan beban kak Mailida, hingga ia tak perlu bekerja terlalu keras, di tambah lagi karena kakak sudah mulai sering sakit karena terlalu keras berkerja untuk kami adik-adiknya. Namun berkat pertolongan dan kuasa Allah, angin segar kembali berhembus kearah saya. Dari bidang kesiswaan saya mendapat kabar, bahwa siapa saja yang berhasil masuk dalam peringkat 10 besar di kelas, akan mendapatkan beasiswa berprestasi. Saya berjuang dengan sungguh untuk mendapatkannya, saya belajar dan berteman dengan mereka yang pintar di kelas, walau terkadang di cap pilih-pilih teman saya tak perduli, saya sangat percaya dengan pepatah arab yang mengatakan :”siapa yang berteman dengan pembuat minyak wangi maka akan kecipratan wanginya dan siapa yang berteman dengan pengolah besi, maka akan kecipratan api dan baunya”. Akhirnya usaha saya membuahkan hasil, saya masuk dalam kategori 10 siswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa berpresrasi sampai lulus sekolah dengan syarat dapat mempertahankan prestasi itu. Selain itu saya juga tercatat sebagai salah seorang siswi berprestasi di bidang seni, di awal tahun 2010 saya memenangkan juara I membaca puisi tingkat SMA/sederajat se-Kab. Aceh Tengah, saya juga pernah mewakili Aceh Tengah ke Aceh Tamiang dalam rangka MTQ tingkat Provinsi dan masih banyak lagi prestasi lainnya.

            Setelah tamat dari bangku sekolah, saya mengikuti tes untuk kuliah ke Yogjakarta dengan kampus impian UGM, melalui beasiswa bidik misi, namun sayang tak ada kabar pasti tentang kelulusan saya. Hingga akhirnya saya mengurungkan niat untuk kuliah dan memilih menganggur dengan alasan tak ingin lagi membebani kak Mailida. Yang terpikir oleh saya ketika itu adalah membuka usaha kreatif dengan menjajakan hasil buah tangan saya sendiri atau melamar pekerjaan dimanapun, walau saya tak yakin bisa melakukannya, namun itulah yang terbesit dihati. Bulan-bulan berlalu, dan benar, mental saya belum siap untuk berkerja. Walau ada beberapa tawaran yang datang, seperti mengajar les privat, namun saya tak mengambilnya. Saya takut mengajarkan yang salah karena kadar ilmu saya sungguh sangat sedikit. Saya mulai merasa stres karena hanya berada di rumah, tanpa ada kegiatan yang bermanfaat yang bisa saya lakukan selain membersihkan rumah setiap harinya.
            Akhirnya saya mulai mencari-cari kegiatan di luar rumah, salah satunya dengan berorganisasi, saya tercatat sebagai salah satu ketua bidang dalam sebuah organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia) dan beberapa organisasi lainnya. Saya mulai sibuk mengikuti kegiatan-kegiatan dalam organisasi, saya benar –benar lupa tentang mimpi saya sebelumnya, seolah mencoba menemukan hal lain berupa pengalaman di luar sana. Setahun mengikuti PII, saya mulai sering di kirim keluar kota untuk mengikuti berbagai macam kegiatan seperti LMD ( latihan manajemen dasar), LBT (leardership basic training) dan kegiatan serupa lainnya.
             Saya adalah yang paling aktif ketika itu dalam organisasi. Hingga suatu hari ketika dalam forum diskusi bersama seluruh teman di luar kota, kami saling sharing pengalaman, sampailah kesempatan itu kepada saya. Saya ceritakan kisah kehidupan saya dan apa yang terjadi pada saya saat ini, hingga seorang teman berkomentar : “ apa kamu tidak berencana untuk kuliah, atau mencari beasiswa selain beasiswa yang pernah kamu ikuti dulu?”. Saya selalu berfikir untuk melanjutkan kuliah, namun karena tidak tahu harus mencari info dari mana saya jadi diam saja, kalau seandainya ada yang menyampaikan kabar beasiswa, saya akan mencoba untuk ikut , jelasku.

            Mendengar itu, tiba-tiba seorang kakak pelatih kami, yang memimpin ruang diskusi itu ikut berkomentar. “ Di Banda Aceh terdapat sebuah kampus yang menyiapkan beasiswa penuh untuk semua mahasiswa/i-nya, setiap bulannya semua mahasiswa/i akan diberikan uang saku sebesar 300 ribu, tetapi jurusan yang ada hanya jurusan bahasa arab program D2, LIPIA namanya (Lembaga Pendidikan Ilmu Islam dan Arab), kampus cabang di bawah kampus Maalik Saud di Riyadh. kuliahnya tanpa di pungut biaya sedikitpun, termasuk SPP dan buku, diberikan dari kampus.

            Awalnya saya tidak merasa tertarik, penyebabnya adalah karena saya tidak terlalu menyukai bahasa arab, disebabkan karena seringkali guru semasa sekolah dulu, mengajarkan dan menjelaskan pelajaran dengan sangat monoton. Namun karena itu adalah beasiswa penuh, saya mencoba untuk ikut tes di akhir bulan Desember 2012, niatnya hanya iseng saja. Betapa terkejutnya saya karena sebulan setelahnya saya mendapatkan pesan singkat dari pihak kampus bahwa saya dinyatakan lulus. Perasaan saya sungguh tak karuan, karena selepas tes saya tak merencanakan apapun. Ketika itu saya yakin bahwa saya tidak akan lulus. Saya benar-benar khawatir. Saya ceritakan semua kejadian ini pada kak Mailida yang ketika itu telah menjadi dosen honorer di kampus tempat dia berkuliah dulu. Mendengar kabar itu, kak Mailida kembali semangat untuk mengantarkan saya mengambil gelar sarjana dan berkata: “ karena adek sudah lulus, maka gunakan kesempatan itu, jangan sia-siakan. Dimana pun kita berada yang penting tetap belajar. Selama itu kebaikan, maka pelajarilah. Tak ada orang yang tak bisa, semua kita dilahirkan dengan potensi yang luar biasa. Jadi cobalah, walau kamu tak menyukainya, soal biaya hidup kakak akan carikan untukmu”. Mendengar petuah dan semangat kakak, saya akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Banda Aceh menjalani perkuliahan dengan modal nekat dan tekad serta bekal uang seadanya untuk mencari kontrakan.

            Bulan-bulan berlalu dengan begitu berat, tak ada perubahan yang terjadi pada diri saya. Saya benar-benar tak mengerti materi yang diajarkan karena diajarkan langsung oleh orang Arab tanpa penerjemah pula. Saya merasa menjadi manusia paling bodoh ketika itu. Sebab saya benar-benar buta dengan bahasa arab. Empat bulan menjalani kuliah, kabar tentang ujian final mulai tersebar. Saya benar-benar takut, tak tahu harus bagaimana. Saya hanya menghafal semua isi buku tanpa tahu apa maksudnya. Dan ketika ujian tiba, saya menuliskan semua yang saya hafal tanpa tahu apakah benar begitu jawabannya. Hari pembagian nilai tiba, saya benar-benar takut, khawatir jika saya raashib (harus mengulang semester). Namun sesuatu yang tak saya duga terjadi, saya justru masuk dalam 20 mahasiswa/i terbaik dari 65 orang angkatan saya. Ketika itu saya benar-benar sadar, bahwa ketika saya mau berusaha walau saya tak mengerti, Allah akan mudahkan jalan saya. Saya kabarkan pada kak Mailida kalau saya akan berjuang untuk mencintai bahasa arab, dan memohon padanya untuk bertahan membiayai kuliah saya, walau hanya dengan uang 200 ribu tiap bulannya. Saya juga mencoba memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di sebuah TPA ternama di Banda Aceh, dikarenakan tidak adanya kejelasan tentang beasiswa yang katanya di berikan setiap bulan. Saya bekerja setiap hari senin-jum’at dari jam 14:30-16:46 untuk meringankan beban kak Mailida. Setiap hari Sabtu dan minggu saya juga berjuang melawan rasa malas dengan pergi menuju rumah teman-teman yang saya rasa bisa membantu saya memahami pelajaran. Saya juga bergabung dalam beberapa komunitas pencinta sastra dan seni di kota Banda Aceh, juga bergabung dalam komunitas photografi. Setiap hari berlalu begitu. Dan ketika final semester dua hasil ujian saya semakin membaik. Saya terus memperbaharui niat saya, agar belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan karena sesuatu yang lain. Tahun 2013 berlalu dengan semua perjuangan luar biasa itu.

            Libur musim panas dimulai, untuk  pertama kalinya saya terbang ke Jakarta seorang diri, dengan di biayai oleh organisasi yang saya pimpin. Saya menghabiskan masa liburan di ibukota. Tepatnya di Gunung Putri, Bogor. Selama 3 bulan saya berada di kota hujan, menginap dari rumah ke rumah, terkadang saya menginap di rumah seorang kenalan kakak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saya ke ibu kota dalam rangka mengikuti “Kemah Sastra Nasional, di Curug Nangka, Bogor. Saya pergi mewakili sebuah komunitas menulis yang saya ketuai “Denang Pena” dan saya berhasil pulang dengan membawa gelar sebagai peserta “Terbaik” dan juga menjadi satu-satunya peserta yang datang dari Aceh yang sangat jauh jaraknya dari Ibukota.

            Setelah libur panjang usai, saya kembali ke Aceh untuk kembali melanjutkan perkuliahan. Semester ketiga dimulai tepat pada awal Januari 2014. Cerita baru muncul, saya tidak sanggup membayar uang kotrakan untuk setahun mendatang. Saya sungguh takut kali ini, sempat terpikir untuk meminjam uang pada teman-teman, namun saya takut jika saya tidah sanggup melunasinya, namun betapa bersyukurnya, sungguh Allah begitu banyak memberikan kemudahan kepada saya, saya mendapatkan kabar bahwa ternyata beasiswa yang dijanjikan kampus telah cairkan, semua uang saku setiap bulannya dikumpulkan dan di cairkan setiap akhir semester. Uang itu saya gunakan untuk membayar uang kontrakan selama setengah tahun kedepan. saya masih berjuang dengan sungguh dalam belajar. tetapi karena pola hidup yang kurang baik, saya jadi sering sakit dan jarang masuk kuliah. saya memutuskan untuk berhenti berkerja, namun betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa kak Mailida ternyata juga memutuskan berhenti menjadi Dosen Honorer karena sebuah alasan yang tak saya mengerti, hingga membuatnya jarang mengirimkan uang belanja. Hari-hari berlalu begitu berat. Kak Mailida mulai menyerah pada saya. Di tak sanggup lagi membiayai kuliah saya. Namun semangat dalam diriku masih berkibar dengan bara yang menyala-nyala. Saya katakan pada kak Mailida bahwa saya tidak akan menyerah. Saya akan berjuang hingga akhir. Jika dia tidak sanggup mengirimkan uang bulanan saya, cukup kirimkan sayur dan beras hasil pertanian peninggalan ayah, sementara uang untuk setiap bulannya saya yang memikirkannya sendiri.

            Setiap hari sepulang kuliah, saya memikirkan cara untuk menghasilkan uang dan menabung. Berat sungguh, otak saya buntu. Sebulan berlalu dengan tidak karuan. Saya semakin setres. Saya berfikir dan berfikir juga memohon kemudahan dari Allah. Saya mulai berfikir untuk menjalankan usaha kreatif yang pernah tertunda, dengan membuat berbagai macam kerajinan sepulang kuliah dengan target pasar anak-anak SD, tetangga sekitar kontrakan saya. Saya sibuk berkreasi, sambil sesekali membagikan photo kreasi saya ke jejaring sosial. Sungguh tak disangka, ternyata justru banyak teman yang juga mau memesan hasil karya saya. Pundi-pundi uang mulai terkumpul, saya mulai menabung setiap harinya 2000 rupiah dan memutarnya menjadi modal untuk berjualan pulsa. Dulu semasa sekolah di Madrasah Aliyah saya juga pernah mengikuti pelatihan dokter muda herbalis muslim yaitu pengobatan ala nabi (Bekam), untuk melunasi cita-cita masa kecil saya. Saya gunakan juga peluang itu untuk mendapatkan uang dengan promosi kepada teman-teman di kelas dan juga orang tua mereka bahwa saya membuka klinik bekam, setelah melalui proses panjang Ijin Praktek. Di bekali pengalaman menjadi asisten dokter muda muslim selama 2 tahun, saya mulai berjelaga dengan semua aktifitas itu, tanpa melupakan pendidikan saya. Tetapi semua tak berlangsung lama, karena kondisi kesehatan saya semakin tidak stabil, bahkan tak jarang saya harus dilarikan kerumah sakit karena muntah teralu banyak dan tak sadarkan diri. Akhirnya saya tidak lagi menerima tawaran membekam. Saya hanya fokus untuk sembuh dari sakit karena ujian semester tiga didepan mata.

            Hari itu pun tiba, kami mengikuti ujian dengan pengawasan yang sangat ketat. Saya benar benar khawatir karena tak belajar dengan baik. Di tambah lagi karena saya masih dalam masa perawatan. Saya menjawab soal ujian dengan semampu saya. Namun bagaikan petir di siang bolong, saya melihat kecurangan terjadi ketika ujian. Banyak diantara teman-teman yang saling berbagi jawaban dan membuka buku. Antara kesal dan kecewa rasanya. Saya kesal dengan kecurangan mereka yang membodohi diri sendiri dan kecewa melihat prilaku mereka yang begitu tega melakukan kecurangan sementara saya yang sakit berjuang mati-matian belajar. Saya benar-benar kesal dan sedih, sesampai di rumah kejadian itu masih teringat-ingat di fikiran saya. Saya ceritakan kekesalan saya pada kakak tertua di rumah kontrakan saya. Mendengar itu, dia justru memotivasi saya agar tak perlu bersedih dan membuang waktu. Ketika mereka ingin berbuat curang biarlah, namun jangan terpengaruh. Tetap fokus dengan impian dan niat baikmu untuk belajar serta jangan curang. Minta do’a dari keluarga dan teman agar diberikan kesangggupan dan kesembuhan, nasihatnya.

            Mendengar kata-katanya saya teringat dengan adik-adik PAY Noordeen yang sempat saya kunjungi ketika libur musim panas. Saya hubungi orang tua kami semua pak Addizar untuk minta dido’akan agar diberikan kesembuhan dan kesanggupan dalam menjalani ujian. Dan sungguh luar biasa, do’a mereka terijabah oleh Allah. Saya sembuh dan hasil ujian saya sungguh sangat memuaskan. Saya  masuk ke dalam 15 besar terbaik. Saya terus berjuang bertahan kuliah, sementara banyak diantara teman-teman yang harus berhenti karena tidak sanggup hingga terpaksa di keluarkan oleh pihak kampus (DO). Saingan saya dalam belajar semakin berkurang, kami hanya tersisa 38 orang lagi. Saya sangat takut jika menjadi orang yang berada di posisi terakhir di final akhir semester. Final penentu jalan saya selanjutnya. Saya masih berjuang belajar siang dan malam untuk mengalahkan kemalasan saya. Hingga sampailah pada hari penentuan setelah ujian final usai. Saya berhasil masuk ke dalam peringkat 10 terbaik dengan nilai akhir “jaid jiddan” kemudian pada tanggal 15 Desember 2014, saya dan seluruh teman seangkatan saya di wisudakan, saya dan beberapa teman berprestasi lainnya mendapatkan hadiah lulus bebas tes untuk masuk ke perkuliahan yang sebenarnya Takmili program D3 dan untuk meraih gelar sarjana S1 di LIPIA Jakarta yang akan menghabiskan 5 tahun lamanya. Saya sangat berharap bisa mengambil peluang ini, namun timbul kekhawatiran tentang biaya hidup yang sudah pasti akan lebih mahal dari pada di Aceh. Saya rasa saya akan sangat menyesal jika tak mengambil peluang ini, karena ini beasiswa penuh, tak sepeserpun uang di minta dari kami semua para mahasiswa/i termasuk uang SPP, justru kami diberikan fasilitas lengkap sampai ke buku panduan. Semua gratis, hanya persoalan biaya hidup di ibukota saja yang saya takutkan. Saya sudah pasti harus mengontrak rumah dan sebagainya. Sungguh besar harapan saya bisa terbang ke Jakarta.
Hingga untuk pertama kalinya saya memberanikan diri meminta kepada kakak dan abang-abang saya yang lain, saya tahu mereka bukan tidak perduli pada saya, hanya saja mereka belum bisa membiayai sekolah saya selama ini, karena telah memiliki tanggungan anak dan istri. Saya memohon tiap orangnya memberikan uang 200 ribu untuk biaya ongkos pesawat saya. Betapa bersyukurnya saya bahwa ternyata mereka mengiakan permohonan saya. Sekarang, tiket keberangkatan sudah di tangan saya. Tinggal kesiapan mental dan dana hidup di jakarta yang nantinya harus saya pikirkan.

Dan ketika itu pula saya mulai memperbaiki niat saya untuk melanjutkan kuliah dengan sungguh-sungguh agar dapat memperbaiki kehidupan saya dengan ilmu dan mengangkat derajar almarhum kedua orang tua saya. Agar tak ada lagi perbedaan antara saya dan teman-teman yang lainnya, agar tak ada lagi istilah pandang sebelah mata, untuk anak-anak yang kurang beruntung seperti saya.


Sekian.